“Kamu kenapa menangis?” Ibu mendekat sembari mengusap kepalaku dengan lembut, penuh kasih sayang. Di situlah kami bisa merasakan kasih sayang yang tulus dari seorang ibu. Percaya deh, kasih sayang pacar itu tidak ada apa-apanya. Kali ah, aku juga gak tahu masalahnya, gak pengalaman pacaran, ketahuan deh. Tapi serius, tidak ada yang bisa menggantikan kasih sayang ibu, karena ibu adalah segalanya. Ibu rela melakukan apapun demi anak-anaknya, ibu berusaha menyayangi dengan adil kedelapan putra-putrinya, tapi tetap, tuduhan tidak adil itu masih sering kulontarkan, meskipun aku sebenarnya tahu kalau ibu tetap berusaha adil. Aku memiliki empat orang kakak dan tiga orang adik yang sangat kusayangi, berbagai macam rintangan kami lewati bersama.
“Ibu, katanya kalau gak sekolah bisa bodoh, ya? Aku gak mau bodoh, Bu.” Aku terus merengek, yang aku tahu saat itu jika tidak mau sekolah nanti jadi orang yang bodoh. Aku tidak memikirkan hal lain, saat itu yang ada di dalam benak adalah ingin sekolah. Aku belum tahu sebetulnya manfaat dari bersekolah itu apa. Ibu tak menjawab, hanya menggeleng sembari tersenyum.
Saat berusia sekitar delapan tahun, saatnya aku masuk kelas tiga sekolah dasar, namun sudah hampir satu bulan kami di sini belum juga mereka mendaftarkan ke sekolah yang baru lantaran belum ada surat pindah dari sekolah yang lama. Namun setelah melewati berbagai rintangan akhirnya bisa bersekolah seperti biasa. Meskipun kurang lebih satu bulan harus bolos, tapi tetap tidak mengurangi semangat. Kami masih diantar ibu, ya maklum, ibu sangat menyayangi anak-anaknya, jadi mana mungkin setega itu melepas anaknya pergi ke sekolah sendirian, sedangkan kami semua belum tahu seperti apa situasi dan kondisi di sekolah yang baru. Kurang lebih satu minggu ibu mengantarkan kami, kemudian di hari-hari selanjutnya aku ke sekolah dengan teman-teman baru. Mereka adalah Dini dan Yanti. Aku menghabiskan waktu bermainku bersama dengan mereka berdua, mereka selalu menjemputku ketika kami mau pergi ke sekolah. Kami bertiga berjalan kaki menuju sekolah yang berjarak kurang lebih tiga kilometer. Lumayan jauh, tapi tidak terasa karena kami berjalan sambil bermain. Bahagia sekali mendapat teman baru. Mereka baik, aku jarang berantem sama mereka. Suatu ketika saat pulang sekolah, hujan turun begitu deras sehingga kami semua basah-basahan, bahkan kami singgah tuh di sungai kecil galian. Bukan sungai alam sihm cuma airnya sangat jernih sekali sampai bisa buat ngaca. Kami juga selfi-selfi bareng sambil monyong-monyongin bibir ke arah sungai yang jernih itu, sehingga anak-anak usia segitu pasti tergoda untuk nyebur apalagi bareng teman-teman. Saat itu belum banyak yang dipikir, boro-boro mikir dunia, yang ada hidup itu indah, beda banget sama sekarang kebanyakan yang dipikirin.
“Kenapa basah kuyup gitu nak?” tanya ibu sedikit bingung, masalahnya di sekitar rumahku hanya hujan rintik-rintik saja, wajar ibu curiga, yang namanya orang tua gak akan tega membiarkan anaknya dalam bentuk apapun, saat keadaan marah sekali pun.
“Hujan Bu,” aku berusaha menjawab sembari senyum-senyum takut.
“Beneran hujan?” tanya ibu masih tidak percaya.
“Iya Bu... iya... tadi nyebur di sungai kecil sana.” Aku menunjuk ke arah di mana sungai itu berada. Padahal kan memang hujan tapi di sisi lain memang nyebur juga, ya sudah itulah jawabanku. Tapi yang bikin aku bingung, tak sedikit pun ibu memarahi, justru ibu tersenyum menatap tingkahku. Dari situ aku mencoba memahami bagaimana usaha orang tua untuk menyenangkan hati anaknya. Setelah perbincangan panjang tadi aku berlari menuju kamar mandi yang berada di sudut luar rumah kami yang terlihat sangat mungil beralaskan papan dan berdinding kayu seadanya terbuat tanpa atap.
Apapun keadaanya jika disyukuri akan menjadi luar biasa dan itu bukan hanya bisa diucapkan karena memang udah kebukti kok, karena aku rasain hal itu. Aku berusaha menerima apapun yang orang tua berikan pada kami meskipun masing-masing kami memiliki keinginan terpendam. Jelas aku banyak punya keinginan yang tidak bisa kuraih saat itu, banyak hal yang terlewatkan dengan sia-sia atau mungkin memang bukan hakku, jadi aku tidak bisa mencapai target harapanku yang sudah tersusun di dalam daftar keinginan tersebut.
Aku memaksa dan berusaha memahami saat orang tua memutuskan untuk pergi ke Desa Sejuta Hektar PLG, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Kawasan yang dibangun ketika kepemimpinan Bapak Presiden Republik Indonesia Bapak Soeharto kala itu. Kawasan yang sangat diminati oleh berbagai kalangan untuk mencari penghasilan dan mengubah nasib di sini. Bagimana tidak, Bapak Presiden mengunjungi secara langsung tempat ini. Itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi masyarakat yang tinggal di kawasan ini pada masa itu. Kerap sekali tempat ini masuk televisi sehingga kedua orang tuaku sangat berminat untuk pindah ke kawasan ini, dan akhirnya pada tahun 1998 kami semua pindah dari tempat tinggal asal. Ya meskipun kurang lebih saja keadaanya karena masih dalam lingkup kabupaten yang sama. Mungkin mereka berpikir tempat ini akan selamanya seperti kala ditayangkan di televisi, sangat makmur dan sejahtera karena tidak ada pengangguran, banyak sekali lapangan pekerjaan di sini saat itu. Tapi yang terjadi tak seindah yang kami bayangkan. Kami mengalami masa transisi di mana masa itu sangat pahit untuk kami jalani. Kondisi pekerjaan orang tua semakin berantakan. Di tempat semula hanya melanjutkan tapi di tempat baru harus memulai segalanya dari nol, meskipun pekerjaan serabutan tapi tetap tidak sama jika harus memulai dari awal.
Boleh saja kita memilih jalan hidup dengan cara kita tetapi yang menentukan jalanya tetap Allah SWT. Maunya kita pasti yang baik-baik, tidak ada di antara kita tidak mau hal yang baik pasti semua memburu sesuatu yang baik, tapi untuk mewujudkan semua itu tidak gampang dan kebaikan yang kita inginkan belum tentu bisa kita dapatkan dengan mudah. Alternatifnya ya sabar dan mencoba mensyukuri apa saja yang sudah kita terima, meskipun tidak mungkin kita secepat itu bersyukur karena kita ini memang sulit untuk mengatakan itu. Segala sesuatu yang terwujud indah melalui proses dan tahapan yang mungkin itu menyedihkan bagi kita. Boleh saja kita tidak mampu memikul beban hidup yang membuat kita hanya bisa nelen ludah dan gak bisa berbuat banyak karena terhimpit keadaan yang memang mesti kita hadapi, tapi jangan lupa kita punya Allah yang siap nolong kita kapan pun dan itu pun gak ekstra. Karena Allah suka lihat usaha kita. Kita minta sungguh-sungguh dan tidak meragukan kemampuan Allah. Memangnya ada ya yang meragukan Allah? Masa sih Allah sehebat itu masih ada yang meragukan? Ah, banyaklah termasuk saya sendiri. Begini loh, bukan bermaksud ragu sama Allah, tapi kita sendiri tidak yakin dengan apa yang kita minta sama Allah. Misalkan begini kira-kira, Allah langsung mengabulkan permintaanku gak ya? Nah, dari situ saja sudah kebaca bagaimana gak yakinnya kita sama Allah. Minta itu jangan ragu, madep mantep sama Allah seperti kata ibu saat menasehatiku, insyaa Allah, Allah bakal kasih entah itu kapan dan di mana sesuai dengan kebutuhan kita, pasti di waktu yang tepat. Ingat, Allah memberi sesuai dengan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan. Tapi tetep kita masih sulit buat yakin sama Allah, kita suka gak percaya sama Allah.
Seperti saat ada yang menyakiti kita pasti ada yang kasih nasehat gini, “Biar Allah yang membalas”. Terus tanpa disadari kita nyeletuk, “Nunggu Allah mah lama.” Nah, ada yang balik nanya lagi, “Lah kalau gak Allah siapa?” Kita sendiri gak punya jawaban ketika ditanya begitu. Ya tetap saja Allah termasuk dengan harta yang kita miliki, susah senang hidup kita tidak lepas dari izin Allah. Intinya miskinnya kita, kayanya kita, sudah diatur sama Allah. “Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Ia kehendaki) mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat” (QS. AR-RAD: 26). Jadi kita syukuri saja apapun yang sudah Allah kasih, dan tujuan kita diciptakan hanyalah untuk menghambakan diri kepada Allah. Akhirat kan lebih kekal daripada dunia, sabar dan nikmati saja hidup ini dengan terus mendekatkan diri pada Allah. Insyaa Allah ada jalan, seperti lagunya Maher Zain. #sabar_is_the_best