Thursday, December 10, 2015

Antara matematika dan kakak ipar


Setelah pengumuman di tangan, kami bersiap untuk memasuki sekolah yang baru, yakni SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), dari persiapan seragam  putih biru hingga keperluan yang lain. Rasanya bahagia sekali sudah tidak mengenakan seragam  merah putih, berasa lebih gedean gitu meskipun sebenarnya yang berubah masih terletak pada seragamnya saja. Pikiran dan badanku tetap kecil, belum ada perubahan. Di SLTP ada kakak iparku yang menjadi guru, jadi sedikit beban saja bagiku. Keadaan ini akan sangat menyulitkan bagi kami sampai-sampai di rumah pun aku memanggil bapak, meskipun sering dimarahi tetap saja sulit untuk mengubahnya.
 Harus belajar jika untuk memanggilnya kakak, serumit mata pelajaran yang ia ajarkan, apalagi kalau bukan  matematika. Jujur sih, pelajaran itu pelajaran yang paling aku tidak suka. Aku lemah di perhitungan, seperti yang sering kuucapkan ketika aku belum disekolahkan Aku takut bodoh kalau gak sekolah karena memang dasarnya aku bukan anak yang cerdas, tapi seperti yang kita tahu ya siapapun berhak menikmati pendidikan. Memang bukan hanya orang cerdas, orang-orang lemah perhitungan pun masih punya kesempatan jika ada kemauan. Mata pelajaran yang sulit bukan untuk dijauhi, ya meskipun aku tidak suka dengan matematika tapi aku tidak menjauhi. Aku berusaha mencintai tapi tetap gak bisa cinta, mungkin di samping pelajaran yang rumit aku sangat segan sekali dengan kakak iparku, jadi semakin membuat dilema. Bahkan sekali pun ada pekerjaan rumah aku tidak berani hanya sekedar datang ke rumahnya untuk menanyakan rumusnya. Lebih baik aku kerjakan di rumah sejadinya dan kalau sudah tiba di sekolah aku barter sama temanku yang lumayan cerdas gitu. Aku tidak berani sama sekali pada saat itu dan yang bikin greget kakakku itu selalu menyuruhku maju untuk mengerjakan tugas di papan tulis.
 Aku tahu  maksudnya itu baik, beliau mengajariku untuk lebih mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Karena kami sangat menjaga hubungan keluarga ini sampai-sampai banyak guru yang tidak tahu jika kami saudara, namun beberapa tetap saja ada yang tahu. Sekolah ini sangat menyenangkan, banyak sekali teman-temanku, aku sangat menyayangi mereka. Ada beberapa teman dekatku  sangat dekat dan akrab.
 Bagaimana perasaanmu jika kamu bersekolah di tempat yang sama dengan kakak iparmu mengajar, seru? Bahagia? Was-was? Kalau aku sih lebih ke was-was, ya jelas itu yang aku rasakan. Aku gak mau aja kita sudah mati-matian cari nilai sendiri entar dituduhnya kerjasama lagi atau minta nilai, kan gak jantan benget. Aku lebih percaya diri mendapatkan nilai lima dari hasilku sendiri ketimbang ngarep dikasih. Aku tahu kakakku juga, dia gak bakal ngasih nilai sembarangan bahkan tak jarang aku dapetin nilai yang gak banget karena aku memang gak suka matematika.
 Tapi setidaknya ada salah satu pelajaran yang aku senangi. Kalau sudah jamnya pelajaran geografi aku bahagia banget, hatiku berbunga-bunga. Bukan karena naksir gurunya, tapi aku hobi mempelajari negara-negara di seluruh penjuru. Entah kenapa aku favorit banget sama negara spanyol. Menurutku negara itu sangat menarik untuk dipelajari, apalagi Spanyol kan negara peradaban muslim. Tempat yang ingin kukunjungi di sana salah satunya adalah Andalusia, Cordoba. Katanya di sana ada bangunan masjid yang berubah jadi gereja, terus katanya juga masjid itu hanya dijadikan sebagai tempat wisata. Aku masih penasaran sampai saat ini meskipun aku sudah membaca di berbagai artikel mengenai negara peradaban itu. Sedih dan sampai netesin air mata. ”Enggak... Aku gak drama.” Kalau mengusut cerita tentang peradaban muslim di Spanyol memang terenyuh dan membuatku sedih pokoknya. Ditambah lagi tim favoritku, Real Madrid juga ada di Spanyol, dari Dani Pedrosa sampai Marc Marques, loh kok lari ke GP?
Oke, balik lagi ke Geografi. Di samping materi-materi yang tersaji sangat menarik, aku suka gurunya juga soalnya gak galak jadi ngalir aja dan bisa untuk diterima. Apa lagi saat memasuki bab tentang sejarah kepemimpinan Nelson Mandela. Berjuang untuk si kulit hitam, manusia yang luar biasa, menurutku Pak Nelson keren banget. Berkat beliau kulit hitam bisa dihargai. Gak seperti aku, kulit hitam yang cemen yang bisanya dikalahin doang, yang bisanya dijadiin tempat sampah sama temen-temennya, dihina-hina kerana kehitamannya, cuma bisa mewek sambil putus asa. “Kenapa aku hitam?”  
 Di saat yang lain asik dengan berbagai kisah cintanya, aku masih tetap jadi anak yang polos, iya mereka sering bilang gitu. Tapi anehnya aku dulu justru sakit hati dan nyesek banget waktu dikatain polos. Bayangkan saja kain atau kertas yang polos kan tidak ada warnanya, kurang cantik kan... Seolah mereka itu meledekku bahwa hidupku tidak berwarna, tidak cantik, tidak indah, lebih mengarah ke cupu alias culun punya, bahasa kerenya sih katanya begitu. Karena seringnya diledekin cupu dulu kalau lagi di rumah, aku suka ngadep ke cermin, lama-lama seabari kusenyum-senyumkan bibirku, aku manyun-manyunkan berulang kali hingga manyun beneran.
 “Sebegitu jeleknya kah diriku?” Aku ngomong sama cermin, alhasil cerminnya rada eneg juga dipantengin lama-lama sama aku. Bosen dia, masa iya tiap boring curhatnya ke cermin. Tapi tetap berusaha semangat ceritanya, bagaiamana pun juga kita kan harus mensyukuri yang namanya pemberian dari Allah. Allah itu kasih tanpa kita minta loh, bayangkan saja betapa Maha Pemurahnya Allah. Coba kalau kita beli berapa harga oksigen yang harus kita bayar, bangkrut-bangkrut deh. Sekali pun orang kaya gak bakal bisa bayar. Tinggal mensyukuri saja terkadang kita susahnya minta ampun, masih saja protes. Iya aku tahu karena aku sendiri suka begitu, hayooo, jujur saja akui perbuatanmu nak... hehe. Kita harusnya terima kasih sama Allah, bukannya Allah diprotes melulu. Allah yang tahu kemampuan kita kok, jadi yang dikasih untuk kita ya sesuai kemampuan kita juga, so mari bersyukur.
     

No comments:

Post a Comment