Sunday, December 6, 2015

The best Enemy

Semakin lama semakin banyak sekali temanku. Mereka ada yang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan masih banyak lagi, berbagai macam suku seperti lirik lagunya Project Pop. Di sinilah berkumpulnya bermacam-macam suku, mau suku apa saja ada. Udah persis taman mini, bedanya di sini manusianya bukan rumah adatnya. Temanku Dini dan Yanti tidak sedekat dulu lagi, bahkan Dini pindah dari sini. Aku memang memiliki teman baru, tapi aku tetap sulit melupakan keseruan yang pernah kujalani bersama Dini dan Yanti. Teman baruku suka banget berantem. Mereka suka banget memusuhiku tanpa sebab, terkadang hanya gara-gara saling tulis nama yang dijodoh-jodohin terus di antara kedua nama itu dilingkari love (bentuk hati), padahal mudeng juga gak love itu apaan, yang jelas saling ejek aja gitu misal begini “Chica dan Wahyu”, terus digambar love di pinggirnya, kalau sudah gini wah siap-siap perang ke tahap selanjutnya. Padahal aku gak berani banget buat ikutan nulis-nulis itu, eh namaku yang suka ditulis di papan gede banget. Mending kalau yang dijodoh-jodohin itu cakep, lah ini kadang yang gak banget gitu, jadi pengen nangis tahu gak merasa terhina banget, padahal cuma ditulis gitu doang. Tapi meskipun begitu ya namanya anak-anak tetap saja setelah itu berteman meskipun terkadang mereka keterlaluan. Masa iya bukan aku yang melakukan, main labrak sembarangan, katanya aku nulisin nama dia dengan teman cowok kami juga di buku, terus buku beserta tulisan itu disodorkan ke aku, jelas-jelas itu bukan tulisanku. Sambil menahan tangis aku berusaha menampik meskipun suaraku tidak didengar, gayaku saat itu persis banget sama anak yang terlantar dimarahi ibu kos karena gak bisa bayar. Aku dibentak-bentak, ya nangislah. Entah kenapa memang nasib atau takdir. Sebenarnya sih sakit hati, tapi bukannya sabar itu lebih baik? Jadi aku mencoba bersabar meskipun mereka memusuhiku. Karena di antara orang-orang yang jahat masih ada orang yang baik, begitu pun sebaliknya. Jadi sesakit apapun hati ini tetap saja berusaha kuterima apalagi kalau sampai ibuku tahu, justru aku yang dimarahi, aneh ya? Mungkin kita berpikir aneh, gimana gak aneh, yang anaknya siapa yang dimarahi siapa? Gondok sih sempat berpikir kenapa ibuku lebih sayang sama anak tetangga? Sudah anaknya dimusuhi dimarahi pula, coba bagaimana gak sedih, di mana tempat mengadu? Mungkin kalau anak sekarang sudah nampang status di FB, Twitt, BB dan kawan-kawan dengan judul “anakmu bukan anakmu, mereka adalah putra sang fajar”. Status ngambek kan ceritanya, janganlah ya. Ternyata tujuan ibu seperti  itu mengajari kita untuk bersikap bijak dan memiliki sikap tanggung jawab terhadap apa yang  kita perbuat, maksudnya gak cemen, gak cuma bisa ngumpet di ketek mama, kan  tengsin. Meskipun ibu tahu kita gak salah tapi ibu memberi tahu secara pelan-pelan supaya kita anak-anaknya bisa menerima dan mengerti. Memang tegas sih ibu, apalagi masalah  ibadah, adehhhh... bawel. Tapi balik lagi semua itu dilakukan untuk kita.  Dengan begitu kita tahu bahwa bermusuhan itu gak baik. Ibuku selalu mengajari dan membekali sifat sabar, dan kita tidak boleh memusuhi orang dalam keadaan apapun. Kata ibuku, tidak ada yang bisa mengalahkan kesabaran, yuksss jadi orang sabar. Nih seperti penggalan ayat al Qur’an surah Ar-rad ayat 24 “(sambil mengucapkan) selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu... maka alangkah nikmatnya sesudah itu”.  Intinya sabar itu indah lah bagi siapa saja yang mau bersabar.
Ada kejadian lagi. Saat itu siang bolong, saat matahari benar-benar di atas kepala, sinarnya menyirami seluruh tubuh mungil kami. Terasa menyengat hingga butiran keringat berjatuhan, namun tidak membuat kami mengurungkan niat untuk bermain. Aku dan beberapa temanku bermain di sekitar pabrik tahu tetanggaku, tak ketinggalan adikku pun ikut serta bersamaku. Kami berlomba mengumpulkan botol cuka yang terlantar di sekitar pabrik, jelas mereka lebih banyak dapatnya ketimbang aku.
“Itu banyak kok gak kalian ambil?” tanyaku polos saat melihat botol cuka itu berserakan.
“Gak ah buat kamu saja, kami sudah banyak kok,” mereka serempak menjawab sambil saling senyum. Aku langsung memburu botol itu diikuti oleh adikku di belakang, berjalan berseok sembari tertatih, sedangkan aku semakin mempercepat langkahku tanpa berpikir panjang lagi, yang ada dalam pikiranku hanyalah mereka baik banget masih menyisakan boto-botol itu untukku. Kakiku terus melangkah hingga memijak tanah yang berwarna putih kecoklatan, alhasil kakiku terendam hingga ke lutut. Aroma bau pun terus tercium seiring kakiku melangkah, ternyata itu adalah ampas tahu, bahasa kerenya sampah lah. Mereka puas terbahak-bahak menertawakanku yang semakin terlihat oneng. Aku sedih saat melihat wajah polos adikku yang juga ikut terjebak di dalam rencana jahat mereka. Adikku berada tepat di belakangku karena dia terus mengikutiku, begonya lagi masih aja aku ikutan main sama mereka itu tanpa berpikir kejahatan yang mereka perbuat. Bukan berati gak bisa melakukan apa-apa, tapi ya gak mau saja sih memperpanjang dan memperkeruh keadaan. Mungkin lebih tepatnya aku itu penakut, di samping males berantem. Di sisi lain Aku ada rasa takut jika teman-temanku itu tiba-tiba memusuhiku lagi seperti yang sudah-sudah, dan dia itu ngumpulin teman sebanyak-banyaknya untuk memerangiku. Wow, perang? Iya, kebayang kan  nyaliku ketika itu sampai-sampai adikku sendiri dihasut untuk ikut sama mereka. Anak kecil, tapi itu sangat menyakitkan juga bagi anak kecil. Mikirnya gak bisa berbuat apa-apa kalau tidak ditemani, sedikit tertekan sih dengan keadaan  itu. Aku gak mau cerita sama orang tuaku, ya itu tadi aku yang bakal dimarahi apalagi aku membiarkan adikku  ikut bersama mereka untuk memusuhiku. Aku benar-benar tidak ditegur dan ditinggalkan ketika pulang sekolah, aku sendirian, yang bikin sampai sekarang sedih adalah di saat keluargaku salah paham. Mereka pikir aku yang meninggalkan adikku dan ikut bersama mereka untuk memusuhi adikku. Sakit rasanya tapi aku sulit menjelaskan itu semua.  Mereka seolah  tidak percaya dengan ceritaku. Banyak hal yang tidak kuketahui sebabnya, tiba-tiba satu kelas teman perempuanku menjauhiku. Aku hanya diam dan tidak tahu apa yang harus kuperbuat?
Kembali lagi sabar aja, tapi tidak salah juga kalau mau nangis, yang  kulakukan saat itu juga menangis, apa lagi di pikiran anak kecil saat itu. Tapi tetap sabar gak usah dilawan dan pada akhirnya mereka sendiri yang datang pada kita untuk menegur kita lagi. Jelas bahagia sekali rasanya jika kita tidak saling bermusuhan.
Kata Rasulullah kan batas tidak berteguran itu tiga hari, jadi kalau ada yang lagi berantem jangan lama-lama gak teguranya. Eh gak usah berantem-berantem kali yaa... Lebih indah kalau kita saling menyayangi. Ya memang tidak menutup kemungkinan kesalahpahaman itu pasti terjadi, tapi bagaimana kita menyelesaikan itu semua supaya tidak terjadi konflik yang berat. Terkadang masalah yang sepele saja memang bisa menjadi penyebab tumpah darah loh, jadi  lebih hati-hati saja, be carefull guys. Apalagi kalau usia masih sangat dini seperti yang aku ceritain, rentan juga terkadang bisa menimbulkan tekanan sendiri bagi yang dimusuhi, istilah kerenya bully. Bisa bikin gak betah sekolah loh! Sempat dulu aku mikir begitu, tapi dengan dorongan keluarga, orang tua yang penuh pengawasan di sekitar kita insyaa Allah yang namanya tekanan dari sekolah tidak begitu menjadi masalah. Hati-hati juga terkadang permusuhan si anak bisa merembet pada orang tua dan yang lucunya itu si anak sudah berteman tapi orang tuanya masih sewot-sewotan, jangan ya....
Itulah, yang namanya bermusuhan adalah hal yang paling aku tidak suka sebenarnya. Akan kujadikan musuh terbaik siapapun yang memusuhiku, karena dengan begitu akan membentuk karakter dan kepribadian yang sedikit sabar meskipun itu tidak gampang. Marah sih iya lah pastinya, tapi belajar perlahan untuk menguranginya. Kalau aku cenderung takut sih kalau dimusuhi, apalagi pada saat anak-anak, hemm... takut gak ditemani soalnya. Jadi takut, ditambah memang tidak bisa melawan, ya sudah mereka merasa menjadi pemenangnya gitulah pokonya.       

No comments:

Post a Comment