Saturday, December 12, 2015

Tidak lulus ujian

Tidak Lulus Ujian
“Aku lulus gak ya? Ih... aku lulus gak ya?” suara-suara centil itu menganggu pendengaranku. Mereka terlalu ramai membahas soal lulus atau gak menjelang satu bulan akan dilaksanakannya Ujian Nasional. Aku yang merasa suka les dan jarang alpa berusaha santai, masa iya gak lulus, sudah setengah mati berusaha sampai hujan badai pun tetap turun les, yah meskipun aku sangat tidak yakin untuk bisa lulus. Aku berusaha gak mempedulikan itu, yang lain les hanya dijadikan ajang ketemuan dan fashion show. Mereka suka ngobrol gitu, “Ih... baju kamu baru ya, berapa harganya?” bibirnya monyong ke sana ke mari, rasanya ingin sekali kukuncir sama gelang karet yang bau terasi biar tahu rasa. Tapi cuma sebatas ingin, mana mungkin aku berani melakukan hal itu, aku kan cemen, ide-ide cemerlang aja cuma muter di kepala doang, gak pernah berhasil terekspos. Terlihat bego dan seolah manusia telat mikir, tapi itu lah kenyataan, mulutku memang kaku seperti dikasih formalin, kalau untuk bicara seperti ada yang menghalang di tenggorokan. Makanya aku terkenal pendiam, kadang aku gak terima kalau dikatain pendiam, tapi atas dasar apa aku gak terima? Karena jarang sekali aku bicara, mungkin hanya dengan orang-orang terdekat baru bisa rame. Jadi ketika di SLTP aku bukan murid yang disayang guru seperti teman-temanku, bahkan tidak seperti saudara-saudaraku yang lain yang bisa memberikan kesan indah pada setiap jenjang yang mereka lalui, di situ aku suka merasa iri banget, lagi-lagi, kenapa aku begini?
Mereka memang gonta-ganti baju bagus ketika les, secara buat ketemuan sama pacar mereka, bakalan malu lah kalau berantakan. Ada juga yang tebar pesona dandan sedemikian rupa supaya ada yang naksir. Aku saat itu hanya berpakaian seadanya, kalau boleh dibilang culun banget, rambutku hanya kuikat biasa memakai pakaian tidur, iya baju yang suka dipakai orang-orang buat tidur seperti piama gitulah, celana kegedean, tas ransel kugendong susah payah karena aku kurus dan kecil ditambah lagi hitam, alisku yang tebal semakin jelas mengerut saat matahari menantangku, udah macam angry bird. Bagaiman caraku untuk tebar pesona seperti yang lain coba? (Pasti pada ngebayangin... hehe).
Setelah berbagai macam persiapan, tiba menemui final yakni ujian. Di mana ujian saat itu memakai sistem pemerintah yang baru, kelulusan siswa berdasarkan nilai rata-rata bukan dari jumlah total keseluruhan. Peraturan ini memang sulit meskipun nilainya  rata-rata banyak yang tinggi, tapi jika ada satu mata pelajaran yang nilainya tidak memenuhi standar, ya sudah tidak lulus dan peristiwa yang memilukan ini benar terjadi di sini. Hampir separuh lebih siswa tidak lulus karena mengalami kasus yang demikian, termasuk aku. Pada saat itu standar kelulusan pada tahun 2004 sekitar 4,25. Aku tidak lulus di mata pelajaran matematika dan bahasa inggris, di situ kurang satu saja angka di belakang koma tetap  tidak ada ampun.
Tangis kami tumpah jadi satu. Bayangkan saja, sebagian besar yang tidak lulus siswa yang rajin turun ke sekolah, rajin ketika les sore dan yang mendapat peringkat di kelas, seperti temanku itu. Dia pintar, baik, dan tampan pula, banyak sekali wanita yang jatuh cinta padanya, tapi bagaimana lagi jika itu yang Tuhan kehendaki untuk kami, apa lagi saat itu aku rajin-rajinnya puasa Senin Kamis. Nah loh, pamer kalau puasa. Sekali lagi bukan pamer, hanya ingin berbagi jika lagi rajin-rajinnya ibadah ketika dapat ujian jangan semakin drop, apalagi merasa yang dilakukan itu sia-sia seperti yang aku rasakan dulu. Aku pikir dengan begitu akan memudahkanku dalam belajar, tapi hasil yang aku peroleh tidak sesuai. Hopeless banget, ada sedikit rasa protes sama Allah. Ya Allah bukannya saya sudah berusaha semaksimal mungkin, aku sudah  puasa, belajar, tapi kenapa tetap saja aku tidak lulus, jadi sia-sia donk pengorbananku selama ini? Tuh, aku dulu mikir semua itu sia-sia karena belum tahu cara Allah menolong hamba-Nya dari mana. Ibadah yang kita lakukan jika karena Allah tidak ada yang sia-sia, Allah punya rencana sendiri di balik semua itu. Dalam hatiku ingin sekali menjerit tapi tidak kuasa, aku hanya meneteskan air mata yang tiada henti. Saling menguatkan dengan temanku yang mengalami hal yang sama, bahkan ada sedikit rasa takut untuk pulang. Aku gak doyan makan, waktuku kuhabiskan hanya buat nangis doang, break ketika sholat. Hampir saja aku mogok sholat, tapi aku masih takut kalau Allah bisa lebih marah dari ini. Sesekali aku mengintip kertas yang kuremas-remas di bawah kolong tempat tidur, kondisinya memprihatinkan, nyaris hancur seperti batinku saat itu. Kertas yang bertuliskan kalimat tidak lulus itu ingin sekali kumusnahkan, namun tidak segera kulakukan. Aku hanya bisa memandang dari balik tempat tidur dengan menjulurkan kepalaku tepat di bawah kolong yang gelap, hidupku seperti mati, gelap seperti suasana kolong tempat tidur itu, mengerikan, menyeramkan, dan menyebalkan. Mereka berusaha membujukku untuk makan tetapi aku tidak bergeming. Nasi bungkus yang kubawa masih tergeletak di meja belajarku, tidak mungkin aku membanting nasi itu karena memang dia tidak salah, dia hanya ingin aku meraihnya. Terlihat sekali dia merana sendirian di antara barisan buku yang bertumpuk di situ.
Aku berpikir ini semua akan sangat memalukan bagi keluargaku, tapi Allah punya rencana lain untuk setiap hamba-Nya. Kami saat itu melakukan ujian susulan bagi siswa-siswi yang tidak lulus, sekitar dua minggu setelah pengumuman kelulusan. Kali ini aku berserah diri saja, tidak mau memaksa Allah harus lulus seperti pada ujian awal. Namun aku yakin Allah pasti  merencanakan sesuatu yang indah untukku di kemudian hari, tidak mungkin membiarkan hamba-Nya yang masih percaya pada-Nya dan memberikan sebuah penderitaan begitu saja, sepertinya itu tidak mungkin. Setidaknya aku tetap melakukan hal yang sama, menghambakan diri pada-Nya, belajar ikhlas dalam melakukan sesuatu seperti halnya ibadah tadi, harus ikhlas karena Allah. Belajar yang  tekun setidaknya itu sudah usaha yang kulakukan pada masa itu, soal lulus atau tidak biarkan Allah yang menentukan. Ringan sekali bebanku ketika aku pasrah. Kuserahkan  segala urusanku pada-Nya, tidak akan kujadikan beban dalam hidupku, anggap saja  sebagai kelulusan yang tertunda. Setelah kejadian itu aku terus belajar untuk lebih bersabar dan berusaha menerima apapun keputusan Allah, karena aku tidak memiliki cara untuk menolaknya, karena aku hanyalah seorang hamba saja yang harus siap dengan apapun keputusan Allah.
 Selang satu bulan dari tragedi tidak lulus massal tadi, saatnya yang ditunggu tiba, yakni pengumuman kelulusan beserta pengambilan ijazah bagi siswa yang mengikuti ujian susulan. Kami berbaris di halaman sekolah, mendengarkan arahan  serta pesan-pesan dari kepala sekolahku yang gagah itu, postur tubuhnya mirip dengan  Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, hehe.
Alhamdulillah meskipun tertunda, toh aku lulus juga. Pada saat itu banyak sekali teman-temanku yang tidak ada rencana untuk melanjutkan sekolah, justru mereka  menikah di usia yang sangat muda atau mungkin memang jodohnya sudah sampai. Sedangkan aku masih bingung melanjutkan sekolah ke mana?
Semua itu memang membutuhkan proses, tidak semua jalan itu mulus dan lurus-lurus aja. Ada di mana kita menemukan tikungan, ya kita mesti belok. Ada saatnya kita menemui lampu merah dan kita harus berhenti, seperti itulah gambaran perjalanan hidup kita. Gak selalu mulus pasti yang namanya kendala itu bakalan kita hadapi. Jika kita bisa melewati pasti ada lagi rintangan-rintangan yang lebih gede. Namanya juga hidup, mana ada yang anteng tanpa dicoba, yang namanya hamba-Nya Allah mesti siap sama yang namanya cobaan, karena Allah sudah nyediain jalannya tinggal kita mau lewat jalan Allah atau lewat jalan sebelah. Karena di balik kesulitan ada kemudahan yang tersimpan di dalamnya. La tahzan innallaaha maanna, Allah bilang jangan sedih karena ada Allah bersama kita. Cobaan seberat apapun itu datangnya dari Allah, asal kita minta Allah pasti beri karena itu sudah janji Allah “Memintalah kepadaku maka Aku akan beri”. Pasti pada mbatin, nulis doang mah gampang, udah ngejalanin apa belum? Nah dari situ mari kita sama-sama berlomba, bersaing untuk menuju jalannya Allah, jalan yang diridhoi Allah, yang terpenting bagi kita adalah mendapat keridhoan Allah, insyaa Allah kalau Allah ridho bakal baik. Nah, kalau pada ingin ngerasain coba jalankan saja. Aku belum bisa menjalani apa yang aku tulis itu, tapi kalau kalian sudah, itu yang keren dan luar biasa, makin kelihat cantik dan ganteng. Yang namanya minta sama Allah mah memang kudu dan harus, minta mah sama Allah saja jelas dikasihnya, meskipun waktunya kita gak bakal tahu. Contohnya, aku minta jodoh dari umur dua puluh dua tahun tapi sampai dua puluh enam tahun belum dikasih, hehe. Yang penting terus minta aja jangan sampai mikir, sedikasihnya loh, entar Allah kasih protes lagi, hehe. Mungkin Allah lagi menyiapkan orang yang luar biasa buat aku, dia (red: calon imamku) masih diumpetin sama Allah, entar kalau udah saatnya pasti akan terjadi. Lagi-lagi kita harus sabar dan tersenyum meskipun di hati rada nyesek sih, ya belajar ikhlas. Ikhlas memang berat.... banget tapi ayook semangat ada Allah

No comments:

Post a Comment